Sam Ratulangi bisa dikatakan sebagai pahlawan dari Minahasa yang paling terkenal. Bandar udara dan jalan utama di Manado bernamakan Sam Ratulangi. Sam Ratulangi lahir di Tondano pada tanggal 5 Nopember, 1890. Dia memulai pendidikannya di Tondano, kemudian dilanjutkan di luar negeri, sampai kepada perolehan gelar doktor di sebuah sekolah di Swiss.
Sam Ratulangi mengabdi dirinya untuk pengembangan kualitas hidup orang-orang Indonesia pada saat penjajahan Belanda. Dia termasuk dalam sebuah panitia yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dan setelah Indonesia merdeka, dia menjadi gubernur Sulawesi.
Sam Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949, dan dimakamkan di Tondano. Sebuah monumen yang terletak di pinggiran kota Tondano, dibangun untuk mengenang perjuangan dan pengabdian Sam Ratulangi.
Berikut adalah kutipan surat keputusan yang menetapkan Sam Ratulangi sebagai pahlawan nasional:
DR.G.S.S.Y.RATULANGI (1890 – 1949)
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
No.590/Tahun1961, tanggal 9 Nopember 1961
Sam Ratulangi: National Independence Hero Waktu bekerja di bagian pembangunan kereta api di Priangan Selatan, ia mengalami perlakuan yang kurang adil dari Pemerintah Belanda. Ia menerima gaji lebih rendah dari pada pegawai Belanda, walaupun mereka mempunyai pangkat dan pendidikan yang sama. Hal ini menyentuh rasa kebangsaan Sam Ratulangi. Ia bertekad untuk memambah ilmu pengetahuannya melebihi orang-orang Belanda. Ilmu yang kelak akan disumbangkan untuk kemajuan bangsanya.
Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi yang lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi dilahirkan pada tanggal 5 Nopember 1890 di tondano, Sulawesi utara. Setelah menamatkan Hoofden School (sekolah raja) di Tondano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah Teknik (KWS) di jakarta. Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh Ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah dari Negara Belanda dan 4 tahun kemudian memperoleh gelar dokter Ilmu pasti dan Ilmu alam di swiss. Di Negeri Belanda ia menjadi ketua Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi ketua organisasi pelajar-pelajar Asia.
Sam as a student in Holland
Sam Ratulangi: National Independence
Hero Setelah kembali dari Eropah, Sam Ratulangi mengajar ilmu pasti di AMS (setingkat SMA) Yogyakarta dan kemudian pindah ke Bandung mendirikan Maskapai Asuransi Indonesia. Selama 3 tahun, 1924 -1927 ia diangkat sebagai Sekretaris Dewan Minahasa Di Manado. Jabatan itu dimanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat dengan membuka daerah baru untuk pertanian, mendirikan yayasan dana belajar dan lain-lain. Atas perjuangannya yang gigih, Pemerintah Belanda menghapuskan kerja paksa di Minahasa.
Sewaktu menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927, Ratulangi mengajukan tuntutan agar Pemerintah belanda menghapuskan segala perbedaan dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan antara orang Belanda denganorang Indonesia. Pada tahun 1932 ia ikut mendirikan Vereniging van Indonesische Academici (Persatuan Kaum sarjana Indonesia). Organisasi ini bertujuan menghimpun para sarjana Indonesia yang akan membimbing rasa kebangsaan kepada rakyatnya.
Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat jadi anggota Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat jadi Gubernur Sulawesi. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya, setelah PBB memperjuangkan Sulawesi tetap menjadi bagian RI.
Sam Ratulangi: National Independence Hero Pada tanggal 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh. Jenazahnya kemudian di makamkan kembali di Tondano.
Sumber : http://www.minahasa.net/id/history-ratulangi.html
Ventje Sumual (Prokalamator Permesta)
Letkol Inf. Herman Nicolas Ventje Sumual
Tokoh terkemuka Sulawesi Utara ini bahkan sudah memikirkan soal hak asasi manusia, reformasi, dan otonomi daerah sejak jauh hari. Gerakan Ventje dan kelompoknya yang dibangun atas kesadaran mengenai pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, justru disorot sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Orde Lama.
Gerakan Perjuangan Semesta atau Permesta (1957-1961) yang diproklamirkan Ventje akhirnya ditumpas dan secara de facto tampaknya gagal. Tetapi secara prinsip, gerakan itu menuai hasil, manakala masyarakat menyadari makna sebenarnya di balik perjuangan itu. Kini, Ventje dipandang sebagai seorang tokoh besar, setidaknya untuk Indonesia Timur, lebih khusus Sulawesi Utara.Dalam berbagai kesempatan, pria kelahiran Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923, ini menekankan bahwa Permesta bukan pemberontakan, melainkan sebuah deklarasi politik. Bagi Ventje, isi deklarasi Permesta ya seperti gerakan reformasi di zaman ini. Prinsip perjuangan Permesta adalah “Lebih baik dijajah bangsa asing, daripada dijajah sukubangsa sendiri”
Dia berpatokan pada Undang Undang Dasar sementara Tahun 1950 yang menegaskaan otonomi seluas- luasnya bagi daerah dan pengakuan hak asasi manusia. Dalam pandangan sadar Ventje ketika itu, hal-hal tersebut tak pernah dilaksanakan oleh pemerintah. Artinya, menurut dia, pemerintah telah melakukan pelanggaran konstitusi.
Dan untuk mempertahankan keyakinan tersebut, Ventje dan kelompoknya tak segan-segan angkat senjata. Mereka yang nekat angkat senjata adalah orang-orang yang ikut berjuang dengan darah dan air mata dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja nama-nama seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Warouw, dan Kolonel AE Kawilarang.
Ventje sendiri cukup berjasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dia menjabat Komandan SWK-103A/WK-III saat peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dia berjuang bersama Kolonel Soeharto yang kala itu sebagai Komandan SWK-103C/WK-III di Jogjakarta. Setelah pemerintahan Orde Lama tumbang, Ventje yang dibebaskan dari tahanan pemerintah, terlibat aktif dalam penjajakan pembentukan ASEAN.
Ventje mengakui bahwa dirinya adalah seorang pemberontak. “Tapi saya memberontak terhadap kezaliman. Dan perlu saya tegaskan lagi: saya tidak pernah menyesal pernah jadi pemberontak.” Demikian kata Ventje kepada wartawan Tempo, suatu saat.
Dari tindakan dan pemikiran Ventje, kita bisa menimba pelajaran mengenai bagaimana sikap seorang pahlawan. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sansekerta phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama.
hari Minggu 28 Maret 2010 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta , Pak Ventje berpulang ke Rumah Bapa . Selamat jalan Opa Ventje Sumual
PERMESTA BUKAN PEMBERONTAKAN
Salah satu tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah Mayor John Lie Tjeng Tjoan. Lahir di Menado 19 Maret 1911 dari ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tjeng Nie(keduanya penganut Budha). John Lie meninggal karena stroke 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,Jakarta.
Mendapat Tanda Jasa Pahlawan dari Presiden Soekarno tahun 1961
Dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995.Ia adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang lalu bergabung dengan Angkatan Laut RI.,terakhir berpangkat Laksamana Muda
Robert Wolter Mongisidi (lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 – meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia.
Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Makassar.
Akhir hidup pemuda patriotik ini sangat dramatis. Di hadapan regu penembak Belanda, ia menolak matanya ditutup dengan kain. Sebelum butiran peluru menembus dadanya, ia memekikkan teriak “Merdeka!”
Pada saat pecahnya Perang Pasifik, ia baru duduk di kelas 2 MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki sekolah bahasa Jepang.
Kemerdekaan RI yang diproklamirkan bulan Agustus 1945, menempatkan pulau-pulau di luar Pulau Jawa dan Sumatera dalam posisi yang sulit. Pasalnya, seluruh kegiatan diplomasi pada saat itu dipusatkan di Jawa karena pemimpin-pemimpin RI bermukim di pulau tersebut. Sedangkan daerah-daerah di luar Jawa dijadikan sasaran utama politik diplomasi Belanda untuk mengucilkan para pemimpin RI di Jawa. Selain itu, kehadiran tentara Belanda dan keterbatasan dana maupun perbekalan, juga menjadi kendala tersendiri bagi para pejuang RI.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, Mongisidi bergabung dalam barisan para pejuang pembela kemerdekaan di Ujungpandang. Tak lama kemudian, pasukan NICA/Belanda mendarat di Makassar dan menduduki wilayah lainnya di Sulawesi, seperti Ujungpandang. Kedatangan pasukan itu disambut dengan perlawanan oleh para pemuda di berbagai tempat.
Bentrokan bersenjata dengan pejuang-pejuang Sulawesi Selatan pun sering terjadi. Para pemuda pejuang harus menerapkan strategi perang gerilya untuk menghadapi kekuatan tentara Belanda karena ketidakseimbangan, baik dari segi jumlah maupun peralatan. Nama Wolter Monginsidi mulai dikenal masyarakat pada saat ia memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda dalam kota pada 27 Oktober 1945.
Setelah Belanda berhasil berkuasa penuh atas kota Ujungpandang, pejuang-pejuang mengundurkan diri ke luar kota dan memusatkan kekuatan di Polombangkeng. Untuk menyatukan tenaga perjuangan, dibentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS). Monginsidi sendiri diangkat menjadi sekretaris jenderal. Dengan jabatan itu, Monginsidi bertugas merencanakan operasi-operasi militer. Untuk mengetahui rahasia musuh, tak jarang ia memasuki kota dan menyamar sebagai Polisi Tentara Belanda. Dengan begitu, ia dapat menentukan sasaran serangan. Belanda pun menghadapi kesulitan serta kerugian besar.
Maka untuk menghentikan perjuangan para pemuda itu, Belanda mengadakan razia besar-besaran pada 28 Februari 1947. Monginsidi yang tetap pada penyamarannya ikut terjaring dalam razia itu. Pemuda itu pun ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 27 Oktober 1947, ia berhasil meloloskan diri dan menimbulkan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Razia pun diperketat, tak sia-sia, sembilan hari kemudian Monginsidi kembali ditangkap.
Belanda membujuknya bekerja sama. Dengan tegas bujukan itu ditolaknya. Penolakan itu berbuah vonis hukuman mati dari pengadilan kolonial Belanda. Meski ia menyadari nyawanya terancam, namun sebagai pejuang sejati, keputusan pengadilan tersebut diterimanya dengan tabah. Ia pun menolak untuk meminta ampun. Masyarakat menjadi gempar, lalu mengajukan permohonan supaya hukuman tersebut dibatalkan. Tetapi, penguasa Belanda tetap pada pendiriannya.
Pada 5 September 1949, di saat tanda-tanda perdamaian mulai tampak dengan dimulainya perundingan Konferensi Meja Bundar, bangsa Indonesia dikejutkan dengan berita kematian Robert Wolter Monginsidi. Monginsidi dibawa ke Pacinang untuk menjalani hukuman mati. Dengan tenang ia menghadapi regu penembak dan menolak untuk menutup mata dengan kain. Tangan kirinya memegang Injil, sedangkan tangan kanan mengepalkan tinju sambil memekikkan teriak "Merdeka!", seakan tanpa sedikitpun dihinggapi rasa takut menyambut butiran peluru yang menembus dadanya. Di selnya terdapat secarik kertas yang terselip dalam kitab Injil. Kertas tersebut berisi kata-kata, "Setia hingga terakhir dalam keyakinan." Pada tanggal 10 November 1950, kuburannya dipindahkan ke Taman Pahlawan Ujungpandang.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Robert Wolter Monginsidi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/Tahun 1973, Tanggal 6 Nop 1973. e-ti
http://www.tokohindonesia.com
Pierre Tendean
Pierre Tendean yang ketika itu merupakan ajudan Jenderal AH. Nasution, salah satu jenderal yang menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan gerombolan PKI, mengaku bahwa dirinyalah Nasution kepada gerombolan PKI demi menjaga keselamatan atasannya tersebut.
Kemiripan wajahnya dengan Jenderal AH. Nasution ditambah suasana pagi yang belum begitu terang membuat gerombolan PKI mempercayai pengakuannya sehingga membawanya sebagai Nasution. Dengan demikian pengejaran terhadap Jenderal AH. Nasution yang sedang melarikan diri pun dengan sendirinya berhenti. Tindakannya tersebut menjadi salah satu faktor lolosnya Jenderal Nasution dari penculikan dan pembunuhan tersebut. Nasution kemudian hari menjadi satu-satunya jenderal yang bisa menjadi saksi hidup dari peristiwa berdarah tersebut.
Menjadi tentara sejak awal, sudah menjadi cita-cita dari pria yang bernama lengkap Pierre Andreas Tendean ini. Ayahnya yang seorang dokter sebenarnya menghendakinya mengikuti jejaknya. Namun selepas menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Bagian B di Semarang pada tahun 1958, dia kemudian masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) yang kemudian berganti nama menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) di Bandung.
Dengan tekad yang kuat di samping watak yang baik membuat prestasinya di militer berhasil baik. Ketika masih menjalani pendidikan, dia sudah diangkat menjadi komandan Batalyon Taruna serta sebagai Ketua Senat Korps Taruna. Ketika masih Kopral Taruna, dia diberikan tugas praktek lapangan di kesatuan Zeni Tempur Operasi Saptamarga di daerah Sumatera Timur yang ketika itu sedang mengalami Pemberontakan PRRI/Permesta.
Menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan merupakan tugas pertamanya setelah menamatkan pendidikan Akmil Jurtek-nya pada tahun 1962. Tugas ini dipegangnya hanya setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan Sekolah Intelijen. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah intelijen, dia pun pernah melakukan tugas penyusupan ke wilayah Malaysia yang ketika itu sedang bermusuhan dengan Indonesia.
Dan sejak April 1965, dia diangkat menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/ Kasab) Jenderal AH. Nasution.
Ketika pemberontakan Gerakan 30 September PKI berlangsung dini hari 1 Oktober 1965, Pierre sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah. Sementara gerombolan PKI yang sudah kelabakan karena tidak menemukan Nasution yang sudah sempat melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean.
Kejelian dari seorang prajurit yang sudah mengecap pendidikan intelijen ini dengan cepat menangkap adanya sesuatu yang membahayakan jiwa atasannya. Sehingga ketika gerombolan PKI bertanya di mana Nasution, dia dengan meyakinkan mengatakan dirinyalah Nasution. Kemiripan wajah Pierre dengan Nasution ditambah remang-remangnya cahaya di pagi buta itu membuat gerombolan PKI langsung percaya bahwa Pierre adalah Nasution lalu membawanya pergi.
Besoknya, dia bersama enam perwira lainnya ditemukan telah menjadi mayat di satu sumur tua di daerah Lubang Buaya. Ketujuh Perwira Angkatan Darat itu kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kini namanya begitu harum semerbak sebagai seorang Pahlawan Revolusi.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Andreas Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, tgl 5 Oktober 1965. e-ti
Masih banyak lagi pahlawan yg berasal dari minahasa yg tidak dapat disebutkan satu persatu,
tapi setidaknya Sulawesi Utara Minahasa serta pahlawan2 berdarah Minahasa yg kebanyakan memeluk agama nasrani ikut andil dalam sejarah kehidupan Bangsa Indonesia bersama Pahlawan dari Daerah lain yang memeluk agama Non-Kristen (Islam,Budha,Hindu dll)
ingat bangsa yg besar adalah bangsa yg mengenang para pahlawannya. Apalagi Pahlawan Yg berpikir kedepan dan memberi sumbangsih gagasan serta pemikirannya demi Bangsa Ini Tidak lupa Pahlawan yg Mati mempertahankan Pancasila!!